Minggu, 01 November 2015

MAKALAH Autis

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Autisme berasal dari istilah dalam bahasa Yunani; „aut‟ = diri sendiri, isme‟ orientation/state= orientasi/keadaan. Maka autisme dapat diartikan sebagai kondisi seseorang yang secara tidak wajar terpusat pada dirinya sendiri; kondisi seseorang yang senantiasa berada di dalam dunianya sendiri. Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943, selanjutnya ia juga memakai istilah “Early Infantile Autism”, atau dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan sebagai “Autisme masa kanak-kanak” . Hal ini untuk membedakan dari orang dewasa yang menunjukkan gejala autis seperti ini. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan pada anak yang sifatnya komplek dan berat, biasanya telah terlihat sebelum berumur 3 tahun, tidak mampu untuk berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan maupun keinginannya. Akibatnya perilaku dan hubungannya dengan orang lain menjadi terganggu, sehingga keadaan ini akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Autis dapat mengenai siapa saja tidak tergantung pada etnik, tingkat pendidikan, sosial dan ekonomi. Autis bukanlah masalah baru, dari berbgai bukti yang ada, diketahui kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Hanya saja istilahnya relatif masih baru. Diperkirakan kira-kira sampai 15 tahun yang lalu, autisme merupakan suatu gangguan yang masih jarang ditemukan, diperkirakan hanya 2-4 penyandang autisme. Tetapi sekarang terjadi peningkatan jumlah penyandang autisme sampai lebih kurang 15-20 per 10.000 anak. Jika angka kelahiran pertahun di Indonesia 4,6 juta anak, maka jumlah penyandang autisme pertahun akan bertambah dengan 0,15% yaitu 6900 anak.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian autis ?
2.      Apa penyebab dan karakteristik anak autis ?
3.      Apa saja penangan untuk anak autis ?
4.      Apa peran fisioterapi pada anak autis ?
           
   

BAB II
KERANGAKA TEORI

A.    Pengertian

Autis berasal dari kata “auto” yang artinya sendiri. Istilah ini dipakai karena mereka yang mengidap gejala autisme seringkali memang terlihat seperti orang yang hidup sendiri. Mereka seolah-olah hidup di dunianya sendiri dan terlepas dari kontak sosial yang ada disekitarnya. Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang, berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu yang menyebabkan funsi otak tidak bekerja secara normal sehingga mempengaruhi tumbuh kembang, kemampuan komunikasi, dan kemampuan interaksi sosialnya.[2]
Kata autistik diambil dari kata Yunani, autos = aku, yaitu seluruh sikap anak yang mengarah pada dunianya sendiri. Istilah autistik menunjukkan suatu gejala psikologis yang unik dan menonjol, yakni mengacuhkan suara, penglihatan atau kejadian-kejadian yang melibatkan dirinya.[3]
Autis berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti suatu aliran. Berarti autisme adalah suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autis adalah suatu gangguan perkembangan yang komplek menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktifitas imajinasi, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku, dan emosi.[4]


Autis adalah gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain. Penyandang autis tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti karena antara lain ketidakmampuan berkomunikasi verbal maupun non verbal.[5]

B.     Etiologi (Penyebab Autis )
Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal timbulnya gangguan autis. Namun demikian ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab timbulnya autis berdasarkan beberapa hasil penelitian:
1.     Faktor Psikologis dan Keluarga
Faktor-faktor psikologis yang dapat menyebabkan gangguan autis adalah ketidaksadaran dan ketidakpahaman akan eksistensi diri yang sebenarnya berbeda dengan orang lain, tidak memiliki percaya diri pada kekuatan dan potensinya, sikap menarik diri dari situasi sosial, pandangan dunia luar yang terlalu sempit, disabilitas kognitif (keterlambatan kognitif), kegagalan dalam relasi sosial, ketidakmampuan berbahasa, rendahnya kosep diri dan perilaku yang tidak lazim[6]
Beberapa ahli (Kanner dan Bruno Bettelhem) menganggap autisme sebagai akibat hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian juga dikatakan, orang tua atau pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik[7]
2.     Faktor Biologis
  a.   Faktor genetik
Yaitu keluarga yang terdapat anak autis memiliki resiko lebih tinggi dibanding populasi keluarga normal. Hal ini didasarkan pada pewarisan sifat-sifat induk melalui kromosom. Manusia normal mengandung 46 kromosom, atau dapat dikatakan 23 kromosom dari laki-laki dan 23 kromosom dari perempuan. Sedangkan kromosom manusia yang tidak normal memiliki 45 atau 47 buah kromosom. Kromosom yang tidak normal inilah yang membawa sifat keturunan gangguan mental.
            Kromosom sendiri terbagi menjadi dua, yaitu kromosom sek yang terdiri dari satu pasang kromosom yang menentukan jenis kelamin, dan kromosom otomos yang merupakan kromosom pasangan pertama sampai pasangan ke-22 yang mewarisi sifat-sifat induknya seperti bentuk badan, warna kulit, intelegensi, bakat-bakat khusus dan juga gangguan mental.[8]
            Menurut para peneliti, faktor genetik memegang peranan kuat sebagai penyebab autis karena manusia banyak mengalami mutasi genetik akibat dari cara hidup yang semakin “modern” seperti penggunaan zat kimia dalam kehidupan sehari-hari, dan faktor udara yang semakin terpolusi[9].
            Hasil penelitian lain menemukan bahwa gangguan autistik lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, yakni sekitar 3-5 lebih banyak pada anak laki-laki. Namun tingkat keparahannya lebih banyak terjadi pada anak perempuan, apalagi jika memiliki riwayat keluarga autistik. Sementara penelitian[10]menemukan bahwa gangguan autis memiliki komponen genetik dari keluarga yang memiliki anak autis berkisar 3-5%. Hasil penelitian pada anak kembar ternyata ditemukan bahwa adanya kesesuaian gen gangguan autis pada anak kembar monozigotik dengan angka kontribusi diperkirakan sekitar 36%[11].
  b.  Pre Natal
            Beberapa faktor yang dapat memicu munculnya autis pada masa kehamilan terjadi pada masa kehamilan 0-4 bulan, bisa diakibatkan oleh polutan logam berat (Pb, Hg, Cd, Al), infeksi (toksoplasma, rubella, candida, dan sebagainya), zat aditif (pengawet, pewarna dan MSG), hiperemesis (muntah-muntah berat), perdarahan berat, dan alergi berat.[12]
1).     Lama masa kehamilan
            Penelitian yang dilakukan Tommy Movsas dari Michigan State University menunjukkan bahwa bayi yang lahir prematur (sebelum usia kandungan cukup bulan) mempunyai risiko tinggi mengidap autis. Demikian juga jika lahirnya lebih lama dari masa kehamilan normal, risiko mengidap autis juga sama tinggi[13].
  Usia kehamilan normal pada ibu hamil yaitu 37-42 minggu. Sedangkan kehamilan yang lebih dari 42 minggu disebut sebagai kehamilan lewat waktu (postterm), dan disebut kehamilan preterm jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Biasanya bayi yang lahir prematur akan mudah terserang penyakit, yaitu penyakit kuning. Disebut kehamilan preterm jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Hal ini berdampak pada bayi dimana kekebalan tubuh bayi masih lemah karena fungsi organ tubuhnya belum terbentuk sempurna, sehingga perkembangan bayi terganggu. [14]
        2) .    Obesitas
            Menurut Paula Krakowiak, epidemiolog dari UC Davis MIND Institute, penelitian terbaru yang dilakukan para ilmuwan yang berafiliasi dengan UC Davis MIND Institute menemukan bahwa ibu yang obesitas beresiko 67% lebih besar melahirkan anak yang menyandang autis. [15]
            Menurut dr. Suririnah, bahwa selama kehamilan, ibu hamil perlu untuk bertambah berat badan.[16] Berat badan wanita hamil akan mengalami kenaikan sekitar 6,5-16,5 kg. Metode yang biasa digunakan adalah BMI (Body Mass Index). Kenaikan berat badan terlalu banyak ditemukan pada kasus preeklampsi dan eklampsi (Rukiyah, dkk., 2009). Hal ini berhubungan dengan hipertensi pada kehamilan yang dapat dengan cepat menimbulkan oliguria dan disfungsi ginjal. Sehingga prognosis pada bayi dan ibunya menjadi serius[17].
3).     Diabetes
         Selain obesitas, hasil penelitian para ilmuwan yang berafiliasi dengan UC Davis MIND Institue juga menemukan bahwa penderita diabetes berisiko 2,3 kali lebih besar memiliki anak dengan gangguan perkembangan dibandingkan ibu dengan kondisi sehat. Namun, proporsi ibu dengan diabetes yang memiliki anak autis lebih tinggi daripada ibu yang sehat, meski secara statistik tidak terlalu signifikan. Studi ini juga menemukan, anak penyandang autis dari ibu penderita diabetes lebih mungkin mengalami kecacatan (rendahnya pemahaman bahasa dan komunikasi) daripada anak autis yang lahir dari ibu yang sehat. Namun, anak-anak tanpa autis yang lahir dari ibu penderita diabetes juga rentan mengalami gangguan sosialisasi jika dibandingkan dengan anak tanpa autis dari ibu yang sehat[18].
         Menurut peneliti, pada ibu penderita diabetes dan kemungkinan kondisi pra-diabetes di masa kehamilan, pengaturan glukosa menjadi sulit diatur sehingga meningkatkan produksi insulin pada janin. Produksi insulin yang tinggi membuat kebutuhan akan oksigen menjadi lebih besar, akibatnya suplai oksigen bagi janin menjadi berkurang. (Kompas.com) Kejadian diabetes pada ibu hamil bisa didapat saat hamil atau sebelumnya memang memiliki kadar gula yang tinggi. (Solikhah, 2011)
        Beberapa pengaruh penyakit diabetes terhadap janin atau bayi:
  (a)   Bayi berisiko mengalami kelainan jiwa
        (b)   Bayi berisiko mengidap penyakit gula
        (c)   Bayi berisiko mengalami cacat bawaan
        (d)   Kematian janin dalam rahim (> ke-36) dan lahir mati
        (e)   Bayi dengan dismaturitas
  4) .    Perdarahan selama masa kehamilan
            Perdarahan selama kehamilan sering bersumber dari placenta complication yang menyebabkan gangguan perkembangan otak. Perdarahan pada awal kehamilan berkaitan dengan kelahiran prematur dan memiliki berat bayi yang rendah, dimana kondisi ini sangat rentan terjadinya autis. Dalam periode neonatus, anak autis mempunyai insiden yang tinggi untuk mengalami sindrom gawat pernapasan dan anemia neonatus. Beberapa komplikasi yang timbul pada neonatus mempengaruhi kondisi fisik bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan kelahiran, maka hal yang paling berbahaya adalah hambatan aliran darah pada otak dan oksigen ke seluruh tubuh. Dan organ yang paling sensitif terkena autis adalah otak.[19]
            Pada awal kehamilan, perdarahan abnormal adalah merah, banyak, atau perdarahan dengan rasa nyeri[20] Sedangkan, pada kehamilan lanjut perdarahan yang berbahaya antara 24-28 minggu. Hal ini dikarenakan sifat perdarahan yang cepat dan banyak yang berasal dari gangguan pada plasenta (Dewi, 2011). Apabila diagnosa klinik dapat ditegakkan, itu berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 500 ml.
  5)  .   Usia orang tua saat hamil
            Menurut Alycia Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks, makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita autis. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun. Hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi gen (Kompas.com).
            Terlalu tua untuk hamil (usia diatas 35 tahun) bisa jadi berakibat pada persalinan, yaitu persalinan memakan waktu cukup lama, disertai perdarahan dan risiko cacat bawaan. Sedangkan hamil di bawah usia 20 tahun bisa berakibat kesulitan dalam melahirkan dan keracunan saat hamil (Hartati, 2010).
c.    Zat-zat aditif yang mencemari otak anak
            Menurut Sunu, beberapa faktor yang berpotensi menjadi penyebab autis pada anak antara lain seperti:
               1)     Asupan MSG (Mono Sodium Glutamat)
               2)     Protein tepung terigu (gluten), dan protein susu sapi (kasein)
               3)    Zat perwarna
         4)     Bahan pengawet
         5)     Polutan logam berat.
            Dari hasil tes pada darah dan rambut beberapa anak autis ditemukan kandungan logam berat dan beracun seperti arsenik, antimoni, kadmium (Cd), air raksa (Hg), atau timbal (Pb). Diduga kemampuan tubuh anak autis tidak mampu melakukan sekresi terhadap logam berat akibat masalah yang sifatnya genetik.
         6)      Bahkan beberapa ahli juga berpendapat bahwa jenis imunisasi seperti MRR (Mump, Measles, and Rubbella) dan hepatitis B pada bayi dapat juga menjadi pemicu munculnya autisme, meskipun hal ini masih menjadi perdebatan[21]. Selama ini pemberian vaksin kombinasi three in one, yakni vaksin campak, gondok, dan rubela (MMR) dan vaksin hepatitis B masih dianggap sebagai vaksin penyelamat manusia. Akan tetapi, dari data-data patologis ditemukan bahwa vaksin MMR juga dianggap bisa memberikan kontribusi pada pembentukan autis. Diperkirakan vaksin ini mengandung zat pengawet[22]
  d. Neurobiologis
            Dari data prevalensi menunjukkan bahwa tiga dari empat penderita autis memiliki kecenderungan retradasi mental dengan tingkat estimasi antara 30%-70%, sehingga penderita autis memperlihatkan abnormalitas neurobiologis, seperti kekakuan gerakan tubuh dan cara berjalan yang abnormal. Hasil CATSCAN (Computer Assisted Axial Tomography) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) menemukan adanya abnormalitas cerebellum pada penderita autis. Penemuan ini diperkuat oleh penelitian Courchesne (1991) yang menemukan adanya keterkaitan abnormalitas otak bagian cerebellum terhadap gangguan autistik (Pieter, dkk., 2011).
        e.     Gangguan sistem pencernaan
            Kurangnya enzim sekretin diketahui berhubungan dengan munculnya gejala autisme. Kasus semacam ini ditemukan pada seorang penderita autis bernama Parker Back pada tahun 1997. Selain itu, hasil pemeriksaan usus anak-anak yang mengalami autis ditemukan adanya peradangan. Dari hasil penelitian, peradangan ini diketahui disebabkan oleh virus campak.[23]
     3.      Faktor Sosio Kultural
            Yaitu faktor yang berlangsung dalam lingkungan hidup (kehidupan sosial). Faktor ini mempunyai daya dorong terhadap perkembangan kepribadian anak. Faktor sosio kultural ini juga meliputi objek dalam masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang dapat berakibat tekanan pada individu sehingga melahirkan berbagai gangguan, seperti suasana perang dan suasana kehidupan yang diliputi kekerasan, menjadi korban prasangka dan diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, politik, dan sebagainya, perubahan sosial dan IPTEK yang sangat cepat.[24]

C.    Karakteristik Autis
Karakteristik gangguan autisme pada sebagian individu sudah mulai muncul sejak bayi. Ciri yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak mata dan reaksi yang sangat minim terhadap ibunya atau pengasuhnya, ciri ini semakin jelas dengan bertambahnya umur. Pada sebagian kecil lainnya dari individu penyandang autis, perkembangannya sudah terjadi secara “.relatif normal”. Pada saat bayi sudah menatap, mengoceh, dan cukup menunjukkan reaksi pada orang lain, tetapi kemudian pada suatu saat sebelum usia 3 tahun ia berhenti berkembang dan terjadi kemunduran. Ia mulai menolak tatap mata, berhenti mengoceh, dan tidak bereaksi terhdap orang lain.
Oleh karena itu kemudian diketahui bahwa seseorang baru dikatakan mengalami gangguan autisme , jika ia memiliki gangguan perkembangan dalam tiga aspek yaitu kualitas kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan Ciri-ciri tersebut harus sudah terlihat sebelum anak berumur 3 tahun. Mengingat bahwa tiga aspek gangguan perkembangan di atas terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa autis sesungguhnya adalah sekumpulan gejala/ciri yang melatar-belakangi berbagai faktor yang sangat bervariasi, berkaitan satu sama lain dan unik karena tidak sama untuk masing-masing anak. Dengan demikian, maka sering ditemukan ciri-ciri yang tumpang tindih dengan beberapa gangguan perkembangan lain. Gradasi manifestasi gangguan juga sangat lebar antara yang berat hingga yang ringan. Di satu sisi ada individu yang memiliki semua gejala, dan di sisi lain ada individu yang memiliki sedikit gejala. Adapun ciri gangguan pada autisme tersebut adal;ah sebagai berikut:

1. Gangguan dalam komunikasi
a.        Terlambat bicara, tidak ada usaha untuk berkomunikasi dengan gerak dan mimik.
b.         Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain.
c.          Sering mengulang apa yang dikatakan orang lain.
d.         Meniru kalimat-kalimat iklan atau nyanyian tanpa mengerti.
e.          Bicara tidak dipakai untuk komunikasi.


f.          Bila kata-kata telah diucapkan, ia tidak mengerti artinya.
g.         Tidak memahami pembicaraab orang lain.
h.         Menarik tangan orang lain bila menginginkan sesuatu.

2. Gangguan dalam interaksi sosial
a.       Menghindari atau menolak kontak mata.
b.      Tidak mau menengok bila dipanggil.
c.       Lebih asik main sendiri.
d.      Bila diajak main malah menjauh.
e.       Tidak dapat merasakan empati .
3. Gangguan dalam tingkah laku
a.       asyik main sendiri.
b.      tidak acuh terhadap lingkungan.
c.       tidak mau diatur, semaunya.
d.      menyakiti diri .
e.       melamun, bengong dengan tatapan mata kosong.
f.       kelekatan pada benda tertentu .
g.      tingkah laku tidak terarah, mondar mandir tanpa tujuan, lari-lari, manjat-manjat, berputar-putar, melompat-lompat, mengepak-ngepak tangan, berteriak-teriak, berjalan berjinjit-jinjit.
4. Gangguan dalam emosi
a.       rasa takut terhadap objek yang sebenarnya tidak menakutkan
b.      tertawa, menangis, marah-marah sendiri tanpa sebab
c.       tidak dapat mengendalikan emosi; ngamuk bila tidak mendapatkan      keinginannya
5. Gangguan dalam sensoris atau penginderaan
a.       menjilat-jilat benda
b.      mencium benda-benda atau makanan
c.       menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada tertentu
d.      tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar

D.    Klasifikasi Autis

Menurut Yatim (2002), klasifikasi anak autis dikelompokkan menjadi tiga, antar lain:
1.     Autis Persepsi
Dianggap autis yang asli karena kelainan sudah timbul sebelum lahir. Ketidakmapuan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap rangsangan dari luar, begitu juga ketidakmampuan anak bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak bersikap masa bodoh.
2.     Autis Reaksi
Terjadi karena beberapa permasalahan yang menimbulkan kecemasan seperti orangtua meninggal, sakit berat, pindah rumah atau sekolah dan sebagainya. Autis ini akan memumculkan gerakan-gerakan tertentu berulang-ulang disertai kejang-kejang.  Gejala ini muncul pada usia lebih besar 6 sampai 7 tahun sebelum anak memasuki tahapan berpikir logis.
3.      Autis yang timbul kemudian
Terjadi setelah anak menginjak usia sekolah, dikarenakan kelainan jaringan otak yang terjadi setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit dalam hal pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah melekat.[25]


BAB III
LAPORAN KASUS

       I.            KETERANGAN UMUM PENDERITA
Nama               : An.A.
Umur               : 11 tahun.
Jenis Kelamin  : Perempuan.
Agama             : Islam
Pekerjaan         : -
Alamat                        : Mojo Laban, Sukoharjo.
No. CM           : -

    II.            DATA MEDIS RUMAH SAKIT
Tidak ada karena pasien tidak di rumah sakit.

 III.            SEGI FISIOTERAPI
A.    PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
1.         KELUHAN UTAMA
-          Paien belum bisa berkonsentrasi ( mata tidak bisa fokus ).
-          Pasien belum bisa bicara.
-          Tangan pasien hand clapping.
-          Adanya spasme otot punggung.
-          Hipotonus general.
2.         RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Pada saat hamil usia ibunya 22 tahun. Selama kehamilan tidak ada keluhan apa-apa. Bayi lahir saat usia kandungan 9 bulan dan lahir normal. Saat anak usia 2 tahun belum bisa bicara dan asik dengan dunianya sendiri. Dan orang tua dari pasien tersebut mulai curiga terhadap tumbuh kembang anaknya karena berbeda dengan anak seusianya. Awalnya ibu pasien menyangka anaknya hanya seperti ayahnya yang pendiam tetapi lama-lama ibu pasien semakin curiga dan akhirnya di bawa ke dokter umum. Setelah di bawa ke dokter ibu ibi pasien disarankan untuk menerapikan anaknya. Saat pasien usia 5 tahun di bawa terapi ke YPAC dan di diagnosa ‘’Autis’’. Terapi berlangsung sampai pasien 7 tahun. Saat masih terapi, terapi rutin 3x/minggu OT dan TW. Setelah usian 7 tahun dan sampai saat ini usia 11 tahun sudah tidak pernah di lakukan terapi lagi. Saat ini pasien belum bisa bicara, konsentrasi bellum ada, belum bisa menggenggam dengan kencang, adanya perubahan postur vetebrae, adanya spasme otot dan hand calpping.
3.      STATUS SOSIAL
-          Lingkungan tempat tinggal : pasien tingga bersama ibu dan ayahnya serta adiknya.
-          Aktivitas rekreasi : pasien sering mengisi waktu dengan menonton tv atau bermain dengan mainannya.
-          Aktivitas sosialnya : pasien belum bias berinteraksi ataupun bermain dengan teman sebanyanya.
4.      RIWAYAT KELUARGA
Tidak ada riwayat keluarga yang mempunyai penyakkit tersebut.
5.      RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Tidak ada riwayat penyakit apapun.

B.     PEMERIKSAAN OBYEKTIF

1.      PEMERIKSAAN VITAL SIGN
-          Denyut Nadi  : tidak di lakukan karena px hipersensitif.
-          Pernafasan     : 22kali /menit.
-          Temperatur    : 36,5 C.
-          Tinggi Badan : 150 cm.
-          Berat Badan  : 45 kg.

2.      INSPEKSI/OBSERVASI
Statis
-       Punggung pasien terlihat kifosis.
-       Mata pasien terlihat yidak fokus.
Dinamis
-       Kedua tangan pasien terlihat hand clapping.
-       Pasien nampak belum bisa bicara.

3.      PALPASI
-          Adanya Hipotonus general.
-          Adanya Spasme Otot Punggung.

4.      PERKUSI
-          Tendon bicep              : ++
-          Tendon trisep             : ++
-          Tendon radialis           : ++
-          Tendon patella            : ++

5.      AUSKULTASI
Tidak dilakukan karena tidak ada riwayat penyakit jantung ataupun paru.

6.      PEMERIKSAAN GERAK DASAR
a.       Gerak Aktif :
·         AGA         : regio shoulder, elbow, wrist sinistra maupun dextra mampu bergerak aktif dan full ROM.
·         AGB         : regio hip, knee, ankle sinistra maupun dextra bergerak aktif dan full ROM.

b.      Gerak pasif :
·         AGA         : regio shoulder, elbow, wrist sinistra maupun dextra mampu bergerak aktif dan full ROM, hard end feel pada ekstensi elbow.
·         AGB         : regio hip, knee ankle sinistra maupun dextra bergerak aktif dan full ROM.
c.       Gerak isometrik melawan tahanan :
·         Semua gerakan bisa dilakukan.

7.      MUSCLE TEST


Group Otot
Nilai Otot
Kanan
Kiri
Ekstensor shoulder
4
4
Fleksor shoulder
4
4
Endorotator shoulder
4
4
Eksorotator shoulder
4
4
Adductor shoulder
4
4
Abductor shoulder
4
4
Ekstensor elbow
4
4
Fleksor elbow
4
4
Eksorotator wrist
4
4
Endorotator wrist
4
4
Ekstensor hip
4
4
Fleksor hip
4
4
Ektensor knee
4
4
Fleksor knee
4
4
Ekstensor ankle
4
4
Fleksor ankle
4
4
Ekstensor trunk
4
4
Fleksor trunk
4
4
Keterangan :
Normal  : Subyek bergerak dengan penuh melawan gravitasi dan melawan tahanan maksimal (5)
Good    : Subyek bergerak dengan penuh melawan gravitasi tanpa melawan tahanan (4)
Fair : Subyek bergerak LGS melawan gravitasi tanpa melawan tahanan (3)
Poor      : Subyek bergerak dengan LGS penuh tanpa melawan gravitasi (2)
Frace     : Kontraksi otot bisa dipalpasi tetapi tidak ada pergerakan sendi (1)
Zero      : Kontraksi otot tidak dapat dipalpasi (0)
8.      ANTROPOMETRI TEST
Tidak dilakukan.

9.      ROM TEST
Tidak dilakukan.

10.  PEMERIKSAAN NYERI
Tidak dilakukan karena tidak terdapat nyeri.

11.  TEST KOGNITIF, INTRAPERSONAL & INTERPERSONAL
·         Test kognitif                : Pasien tidak mampu berkomunikasi dengan baik.
·         Test Intrapersonal       : Pasien tidak dapat mengikuti terapis dengan baik, dan menghindar saat diterapi.
·         Test Interpersonal       : Pasien tidak mampu merespon dan tidak bisa berinteraksi dengan orang lain.

12.  TEST KEMAMPUAN FUNGSIONAL & LINGKUNGAN AKTIVITAS
Terlampir.

13.  PEMERIKSAAN SPESIFIK
Tidak dilakukan.


BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam kasus ini, seorang pasien anak bernama An.A berusia 11 tahun dengan keluhan berkonsentrasi (mata belum bisa fokus), belum bisa bicara, dan pasien mengalami hand clapping.
A.    Penatalaksanaan fisioterapi
1.      Neurosenso Stimulasi
Suatu metode beupa stimulasi sensoris pada receptor taktil ( seluruh permukaan tubuh ) sebagai pintu utama semua rangsangan / stimulus yang masuk.
2.      Massage
Massage dengan cara manual adalah salah satu cara perawatan tubuh dengan menggunakan kedua tangan pada bagian kedua tangan pada bagian telapak tangan maupun jari-jari tangan. Massage bertujuan sebagai theurapetic.
3.      Brain Gym
Pembaharuan pola bergerak untuk dapat membantu mengoptimalkan kemampuan belajar anak dengan meningkatkan pengaliran energi (vitalitas) ke otak. Brain Gym bertujuan untuk mengintregasikan setiap bagian otak untuk membuka bagian otak yang sebelumnya tertutup atau terhambat.
4.      Oral Function Stimulation
Suatu metode intervensi atau terapi untuk menstimulasi atau meningkatkan kemampuan oral kontrol.
5.      Exercise
Exercise yang di berikan antara lain : latihan penguatan otot-otot tangan, latihan penguatan otot punggung, latihan tengkurap dari sisi kanan dan kiri, latihan duduk dari posisi tengkurap, latihan duduk dari posisi miring, latihan duduk dari posisi terlentang.

BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Autis adalah kondisi seseorang yang secara tidak wajar terpusat pada dirinya sendiri; kondisi seseorang yang senantiasa berada di dalam dunianya sendiri. Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal timbulnya gangguan autis. Ciri yang sangat menonjol adalah tidak ada kontak mata dan reaksi yang sangat minim terhadap ibunya atau pengasuhnya, ciri ini semakin jelas dengan bertambahnya umur. Pada sebagian kecil lainnya dari individu penyandang autis, perkembangannya sudah terjadi secara “.relatif normal”. Anita Fatimah Maharani usia 11 tahun yang memiliki permasalahan belum bisa berkonsentrasi (mata tidak bisa fokus), belum bisa bicara, dan mengalami hand clapping. Dilakukan kunjungan 1 kali dengan terapi berupa neurosenso stimulasi, massage, brain gym, oral function stimulation, dan exercise.
B.     Saran
1.         Untuk orang tua pasien sebaiknya mulai untuk menerapikan pasien suapaya ada peningkatan pada tumbuh kembangnya.
2.         Sebaiknya orang tua lebih memahami tentang pola makan dan asupan gizi yang baik kusus untuk anak autis .

C.     Edukasi
1.         Keluarga disarankan untuk aktif melakukan pengulangan apa yang sudah diajarkan oleh terapis.
2.         Keluarga dianjurkan untuk sering mengajak anak bermain dan berbicara.




[1] Mohamad sugiarmin plb upi (jurnal individu dengan gangguan autisme)
[2] (Sunu, 2012).
[3] (Pieter, dkk., 2011)
[4] (Jurnal: Malik, dkk., 2010).

[5] (Jurnal: Habiburrohman, 2011).
[6] (Pieter, dkk., 2011).
[7] (Jurnal: Pertiwi, 2013).
[8] (Jurnal: Setyawan, 2010).
[9] (Maulana, 2007).
[10](Cook 2001)
[11](Pieter, dkk., 2011).
[12] (Sunu, 2012).
[13] (Pramudiarja, 2013).
[14] (Hartati, 2010).
[15] (Kompas.com).
[16](Hartati, 2010).
[17] (Solikhah, 2011).
[18] (Kompas.com).
[19] (Pieter, dkk., 2011).
[20] (Asrinah, 2010).
[21] (Sunu, 2012)
[22] (Pieter, dkk., 2011).
[23] (Sunu, 2012).
[24] (Jurnal: Setyawan, 2010).

[25] (Pertiwi, 2013).