life is adventure and full with dream just enjoy with u life and you can happy everytime ..^^
Rabu, 02 November 2016
BAB I Makalah Bell's Palsy
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bell’s palsy menjadi fenomena yang
terdengar tidak asing dikalangan masyarakat saat ini apalagi di bulan yang
memasuki musim dingin pada tahun ini. Banyak masyarakat yang secara tiba-tiba
terkena penyakit dengan gejala berupa wajah merot sebelah, tidak bisa menutup
mata dan gangguan-gangguan pada wajah lainya, akibat dari tanda gejala penyakit
tersebut membuat orang yang menderita penyakit tersebut kehilangan kepercayaan
diri untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya mereka merasa terganggu
dengan wajahnya yang terlihat tidak normal.
Beberapa
ahli dibidang ilmu kesehatan memberikan pernyataan bahwa salah satu penyebab
terjadinya bell’s palsy yaitu akibat
paparan langsung dari udara dingin, sering kali masyarakat tidak memperhatikan
hal-hal kecil yang dianggapnya tidak berbahaya seperti tidak memakai helem saat
berkendara pada malam hari. Tidak memakai helem saat mengendarai motor pada
malam hari dapat memicu tejadinya bell’s palsy dikarenakan wajah tanpa
pelindung kaca helem mudah terkena paparan udara dingin secara langsung.
Banyak
masyarakat awam yang mengira bell’s palsy
merupakan gejala dari stroke dan sering kali penderita juga takut untuk
memeriksakanya ke pusat pelayanan kesehatan karena malu, ataupun karena takut
masih banyak masyarakat yang tidak perduli dengan kesehatan tubuhnya sendiri
sehingga seringkali pasien dengan keluahan wajah merot sebelah ini datang untuk
berobat dengan grade penyakit yang sudah tinggi.
Bell’s
palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai
oleh gangguan pendengaran. Insiden Bell’s
palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis
perifer akut. Prevalensi rata-rata berkisar antara 10–30 pasien per 100.000
populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat
pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan
dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini. Terjadi pada segala
usia, terbanyak 20 sampai 50 tahun. Kejadian 20 sampai 25 per 100.000 populasi.
Wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Banyak kasus terjadi pada wanita hamil
dan penderita diabetes.
Bell’s palsy menempati
urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia insiden tertinggi
ditemukan di Seokori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di
swedia tahun 1997. Di Amerika serikat insiden bell’s palsy setiap
tahunnya terjadi sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi
kanan. Insiden bell’s palsy rata - rata 15-30 kasus per 100.000
populasi.
Di
Indonesia, insiden Bell’s Palsy
secara pasti sulit ditentukan Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah Sakit di
Indonesia didapat frekuensi Bell’s Palsy
sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30
tahun. Lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Tidak didapat perbedaan
insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita
didapat adanya riwayat terpapar udara dingin
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun
yang lebih sering terjadi pada umur 20 – 50 tahun. Peluang untuk terjadi bell’s
palsy pada laki – laki sama dengan wanita. ( Harsono, 1996 )
Gejala
Bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan
otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam
sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan nyeri di
sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan
sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis,
berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan.
Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit. Etiologi
kasus ini yakni (1) teori iskemia vaskuler: spasme arteriole atau stasis vena,
(2) teori infeksi virus: virus herpes simplek, (3) teori herediter: kanalis
fasialis sempit dan sistim enzim.
Bell’s palsy atau
prosopelgia adalah kelupuahan fasialis akibat paralisis nervus fasial parifer
yang teradi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik ), di luar
system saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Paralisis
fasial idiopatik atau bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell,
dokter dari skotlandia. lokasi cedera nervus fasialis pada bell’s palsy adalah
dibagian parifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi didekat ganglion
genikulantum. Salah satu gejala bell’s palsy adalah kelopak mata sulit
menutup dan penderita berusaha menutup kelopak matanya , matanya terputar ke
atas dan mataya tetap kelihatan. Gejala ini disebut dengan fenomena bell pada
observasi dapat dilihat juga pada gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih
lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat ( lagoftalmos ). (
Harsono, 1996 )
Bell’s palsy masih
merupakan studi menarik, disamping masih di dapatkan laporan bahwa 10 – 15%
dari penderita bell’s palsy belum tersembuhkan dengan baik, juga
kontroversi yang berkembang masih belum terselesaikan dengan memuaskan. (
Thamrinsyam, 1991 )
Kelumpuhan saraf facialis akan
menimbulkan kelainan bentuk wajah yang menyebabkan penderita sangat terganggu,
terutama pada waktu mengekspresikan emosinya. Keadaan ini selain menimbulkan
perasaan rendah diri, juga mengganggu kosmetik. Walaupun syaraf facialis mudah terkena
trauma, tetapi dilain pihak merupakan syaraf yang mempunyai kemampuan
regenerasi yang cukup besar. ( Thamrinsyam, 1991 )
Rehabilitasi medik pada penderita Bells ’s Palsy diperlukan dengsn tujuan
membantu memperlancar vaskularisasi. Pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan
mengembalikan fungsi yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis
sehingga penderita dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari dan
bersosialisasi dengan masyarakat.
Fisioterapi adalah suatu bentuk
pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk
mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang
kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak,
peralatan (fisik, elektro, terapeutis, dan mekanis), pelatihan fungsi, serta
komunikasi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2001).
Studi pertama menyatakan bahwa terapi
diri untuk bell’s palsy adalah salah satu terapi fisik pertama dari percobaan
control acak menjelaskan untuk kondisi apapun. Mosforth mempelajari 86 orang
bell’g dengan diangnosa bell’s palsy akut. Terapi fisik yang digunakan
yaitu berupa infra red, massage dan arus IDC. Pengobatan dilanjutkan ampai
pemulihan atau sampai kondisi tampak normal (2-6 bulan). Hasil pemeriksaan
bahwa pengobatan menggunakan electrical stimulation dan tingkat kelumpuhan
visual diperkirakan sebagai persentase dari fungsi sisi normal, hal ini
digunakan sebagai waktu untuk memulai perbaikan dan waktu untuk pemulihan. (
Masforth, 1958 )
Modalitas fisioterapi yang dapat
digunakan dalam penanganan bell’s palsy berupa infra red ( IR ),
massage, electrical stimulation. Modalitas ini berperan dalam mengatasi
kelemahan otot dan gangguan fungsional pada otot wajah akibat bell’s
palsy ( Foster, 1981).
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas memberikan dasar bagi penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1.
Apa pengertian penyakit Bell’s Palsy ?
2.
Bagaimana Patofisiologi Bell’s Palsy ?
3.
Apa saja etiologi penyakit Bell’s Palsy ?
4.
Apa tanda dan gejala penyakit Bell’s Palsy ?
5.
Intervensi fisioterapi apa yang
digunakan dalam penangan Bell’s Palsy ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian penyakit Bell’s Palsy
2.
Untuk mengetahui patofisiologi penyakit Bell’s Palsy
3.
Untuk mengetahui etiologi penyakit Bell’s Palsy
4.
Untuk mengetahui tanda dan gejala
penyakit Bell’s Palsy
5.
Untuk mengetahui Intervensi apa saja
yang digunakan fisioterapi dalam penangan Bell’s
Palsy
Langganan:
Postingan (Atom)